Apa yang Akan Terjadi Jika "Menderita" Sebelum Menikah?



Saya menulis ini karena menampar orang bukanlah tindakan yang menyenangkan. Saya serius ingin menampar beberapa teman saya yang belum menikah dan merasa tidak bahagian karenanya. Yang akan saya tulis bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Mungkin sama menyebalkan dengan tamparan. Jadi, kalau merasa mulai tersinggung, lebih baik berhenti membacanya.

Apa sih sebenarnya yang membuat seseorang menderita dan mengutuki hidupnya karena belum menikah? Saya serius bertanya karena saya tidak pernah merasa demikian saat belum menikah. Mendengar mantan pacar menikah tidak membuat saya langsung ingin buru-buru menikah juga. Justru saya malah mengatakan dengan lantang, "Saya tidak akan menikah!" Satu hal yang saya inginkan, saat tahu saya diputuskan sebagai pacar karena dia akan menikahi perempuan lain, adalah mencari pria lain. Pria yang bisa diajak kencan, menemani saya berkeliaran, menonton ini itu. Bukan untuk pacaran serius, apalagi dijadikan suami.

Saat melihat teman-teman saya menikah dan punya anak, saya juga tidak terilhami untuk cepat-cepat mempersiapkan pelaminan. Umur pun bukan sesuatu yang membuat saya mempertimbangkan pernikahan atau punya anak.

Oke, saya memang pernah punya keinginan untuk menikah dan punya anak sebelum 25 tahun. Itu dulu, saat saya belum kuliah. Lalu banyak hal yang saya baca, saya lihat, saya alami, yang membuat pandangan saya terhadap pernikahan berubah. Meskipun saya sudah menikahi pria baik dan memiliki seorang anak yang lucu, hingga detik ini saya masih percaya sepenuh hati: Pernikahan tidak akan membuat seorang otomatis menjadi bahagia.

Saya akhirnya memang menikah. Keputusan itu saya ambil bukan dengan pertimbangan usia, tren di kalangan teman, dan bukan karena saya mulai kesepian. Saya memilih menikah karena menghormati kepercayaan pasangan saya akan institusi bernama pernikahan. Namun, kepercayaan saya akan institusi pernikahan hingga saat ini masih sama.

Teman-teman saya tercinta yang belum menikah, mohon meleyapkan semua dongeng yang berhenti saat Sang Putri menikah dengan Pangeran Tampan dengan kata-kata "Akhirnya merekan hidup bahagian selamanya." 

Terus terang, bahagia akan lebih sulit diwujudkan saat seseorang sudah menikah dan punya anak. Saya mengatakan ini bukan karena pernikahan saya tidak bahagia. Bahagia yang saya rasakan masih sama seperti sebelum menikah, seperti sebelum bertemu pasangan saya saat ini. Kadar bahagian saya memang naik turun, tapi secara garis besar masih sama. Saya berusaha membuatnya untuk tetap sama. Karena bagi saya hidup itu adalah perjuangan untuk menjadi bahagia.

Nah, dalah hal perjuangan itu lah yang membedakan sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah, kalau tekanan pekerjaan sudah tidak bisa ditoleransi saya bisa melarikan diri, berlibur. Entah berdua, entah beramai-ramai, semua terserah saya. Setelah menikah saya langsung hamil dan punya anak, jadi hingga hari ini saya belum bisa merasakan berlibur sendiri atau bersama teman-teman. Berlibur berdua hanya satu kali, saat bulan madu.

Sekali lagi, bukannya berlibur bersama anak dan suami tidak menyenangkan ya... Tapi ya itu, semua bukan lagi terserah saya. Usaha untuk membuat liburan jadi menyenangkan juga jadi ekstra. Ekstra tenaga untuk mengendong anak sepanjang Malioboro, misalnya. Ekstra sabar karena yang akan mengeluh kalau ada yang tidak nyaman sepanjang perjalanan bukan satu tapi dua orang, atau lebih kalau liburan berbondong-bondong dengan keluarga besar. Dan ekstra ekstra lainnya.

Itu hanya masalah berlibur, dan hidup bukan liburan saja bukan?

Nah, kalau sebegitu besarnya perjuangan yang harus dilakukan untuk bisa bahagia setelah menikah, bagaimana dengan orang-orang yang sebelum menikah saja sudah "menderita" hidupnya? Beneran deh, menderitanya di mana sih? Kesepian? Boleh percaya, boleh tidak, setelah menikah Anda akan merindukan malam-malam sendirian di kamar, bisa menonton apa saja, membaca dengan tenang, luluran, menyisir rambut sampai tangan pegal, atau mencoba makeup terbaru... 

Sekarang saya masih bisa sih sendirian di kamar, sibuk sendiri, dan tidak mengurusi dua laki-laki di rumah, tapi kejadiannya semacam itu seperti bulan purnama. Paling sering ya sebulan sekali. Ini pilihan saya. Saya yang memilih hidup seperti ini. Untuk menjadi istri, untuk menjadi ibu.

Mungkin di sana letak "penderitaan" orang-orang yang belum menikah. Mereka merasa bukan pilihannya hingga akhirnya masih "sendiri" di tahapan hidup yang kata orang harusnya sudah menikah dan punya anak. Itu kan kata orang! Apa kata diri Anda sendiri? Kenapa hingga kini Anda masih belum punya pacar? Benar karena tidak ada yang mau? Atau karena Anda memasang tembok yang tinggi, takut ada yang masuk, mencuri hati, lalu menyakitinya? Kenapa Anda tidak menikahi pacar Anda sekarang, atau pacar pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima? Yakin karena kondisi dan situasi yang akhirnya membuat Anda putus? Bukan karena jauh di dalam diri Anda sudah tahu kalau memang tidak cocok? Tidak cukup pantas untuk diperjuangkan?

Lalu bagaimana dengan orang yang tidak mau menikah tapi terpaksa harus menikah? Bahagia pasti lebih jauh lagi dari mereka.

Hidup itu pilihan dan pilihannya bukan menikah atau tidak menikah. Pilihannya mau bahagia atau tidak? Itu saja!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia